HUKUM PERDATA, HUKUM PERIKATAN DAN HUKUM PERJANJIAN
DISUSUN OLEH :
ANIS PRATIWI DININGRUM
21214281
3EB28
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
HUKUM PERDATA
A.
Pengertian Hukum Perdata Arti Luas dan Sempit
1.Pengertian hukum
perdata
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan
oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu burgerlijkrecht
Wetboek (B.W) pada masa pendudukan Jepang. Di samping istilah
itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne
mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“Suatu peraturan yang mengatur tentang
hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan
keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan
jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan
hukum perdata adalah:
“Aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas”.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para
ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang
yang satu dengan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek
hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi
untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis
maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan
yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
2.Arti luas
Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hukum
sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan perseorangan, dan juga Kitab Undang-Undang hukum dagang Wetboek van Koophandel (WVK) beserta sejumlah undang-undang
yang disebut undang-undang tambahan lainnya seperti peraturan yang ada dalam KUHPerdata,
KUHD, serta sejumlah undang-undang tambahan (UU pasar modal, UU tentang PT dan
sebagainya)).
3.Arti sempit
Hukum perdata dalam arti sempit yaitu hukum perdata
sebagaimana yang terdapat dalam KUHPerdata saja.
B.
Pengertian Hukum Perdata Material dan Formal
1. Hukum Perdata Material
Pengertian
hukum perdata material adalah menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum
serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi
sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam
pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.
2. Hukum Perdata Formal
Pengertian
hukum perdata formal adalah menunjukkan cara mempertahankan atau
menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil
itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula
hukum Acaara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara
mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan.
C.
Sumber Hukum Perdata
Sumber hukum
adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan
timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata atau
tempat dimana hukum perdata di temukan.
Volamar
membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam. Yaitu
KUHperdata ,traktat, yurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut
dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak
tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat
ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis.
Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak
tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari
sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi
sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan
umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria
D.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika,
yang di dalam bahasa Inggris, disebut systematics, bahasa Belandanya,
yaitu systematiken, yaitu susunan atau struktur dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Di negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak
mengenal pembagian antara hukum publik dan hukum privat. Sehingga hukum
perdatanya tidak dibuat dalam sebuah kodifikasi, tetapi ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan hukum perdata tersebar dalam berbagai act atau
undang-undang. Namun, di dalam sistem hukum yang menganut Civil Law, maka
sumber hukum utama, yaitu hukum kodifikasi yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berikut ini, disajikan sistematika Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, Belanda, Rusia, Perancis
dan Jerman.
Sistematika
KUH Perdata yang berlaku di Indonesia, meliputi :
Buku I : tentang orang
Buku II : tentang Hukum Perdata
Buku III : tentang Perikanan
Buku IV : tentang Pembuktian dan Daluarsa
Di negeri Belanda, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdatanya telah dilakukan penyempurnaan. Dengan adanya penyempurnaan
itu, maka terjadi perubahan sistematika, yang semula hanya terdiri atas lima
buku, yang meliputi :
Buku I :
tentang hukum orang dan keluarga (Personen-en-Familierecht)
Buku II :
tentang Badan Hukum (Rechrspersoon)
Buku III :
tentang Hukum Kebendaan (Van Verbindtenissen)
Buku IV : tentang
Daluarsa (Van Verjaring)
Kelima buku
itu telah disempurnakan menjadi sepuluh buku. Kesepuluh buku itu, meliputi :[1]
Book 1 :
Person and Family Law (Hukum orang dan Keluarga)
Book 2 :
Legal Person (Badan Hukum)
Book 3 :
Property Law in General (Hukum harta kekayaan secara umum)
Book 4 :
Succession (inheritance) (hukum warisan)
Book 5 :
Real Property Rights (hak atas
harta kekayaan)
Book 6 :
Obligation and Contracts (perikatan dan kontrak)
Book 7 :
Particular Contracts (revised) (perjanjian khusus)
Book 7 : Particular Contracts
(unrevised) (perjanjian khusus)
Book 8 :
Transport Law (hukum pengangkutan)
Book 9 :
Intellectual Property (hak
kekayaan intelektual)
Book 10 :
Private International Law (hukum perdata internasional)
Sementara itu, Rusia merupakan salah
satu negara yang cukup maju dalam perkembangan hukum, khususnya hukum perdata,
karena dinegara ini telah menetapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Federasi
Rusia, yang disebut dengan The Civil
Code of the Russian Federation. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Federasi
Rusia ditetapkan dalam dua tahap, yaitu :
1. Tahap pertama
ditetapkan pada tahun 2003
2. Tahap kedua
ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2006.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Rusia terdiri dari 1551 pasal atau artikel dan
empat bagian dan masing-masing dibagi dalam divisi-divisi. Code Civil
Prancis terdiri dari empat buku dan terdiri atas bagian dan pasal, jumlah
pasal yang tercantum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Prancis, yaitu sebanyak
2302 pasal. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jerman atau disebut juga German
Civil Code atau Bürgerlichen Gesetzbuches (BGB) terdiri dari empat buku dan
2385 pasal, dan ditetapkan pada 18 agustus 1896.
E. Asas-asas Hukum Perdata
Beberapa asas
yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:
1.
Asas Kebebasan
Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap
orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam
undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338
KUHPdt).
2.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam
Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.
3.
Asas
Kepercayaan
Asas
kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari.
4.
Asas Kekuatan
Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian
hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut
dan sifatnya hanya mengikat.
5.
Asas Persamaan
hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa
subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama
lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6.
Asas
Keseimbangan,
Asas
keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan
itikad baik
7.
Asas Kepastian
Hukum,
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
8.
Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan
wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak
baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral).
Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan
perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya
9.
Asas
Perlindungan
Asas
perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan
bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan
dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10.
Asas Kepatutan.
Asas kepatutan
tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai
isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11.
Asas
Kepribadian (Personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12.
Asas Itikad
Baik (Good Faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak.
F.
Sejarah Hukum
Perdata di Indonesia
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum
perdata Belanda yang diberlakukan asas konkordansi yaitu hukum yang
berlaku di negeri jajahan (Belanda) sama dengan ketentuan yang berlaku di
negeri penjajah.
Secara makrosubtansial perubahan-perubahan
yang terjadi pada hukum perdata Indonesia : Pertama, pada mulanya
hukum perdata indonesia merupakan ketentuan-ketentuan pemerintahan
Hindia-Belanda yang diberlakukan di Indonesia (Algamene Bepalingen van
Wetgeving) Kedua dengan konkordansi pada tahun 1847 diundangkan
KUHPerdata (BW) oleh pemerintahan Belanda.
Dalam prespektif hukum sejarah, hukum perdata yang
berlaku di Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum
Indonesia merdeka dan periode setelah
Indonesia merdeka.
1.
Hukum Perdata
pada masa penjajahan Belanda
Sebagai
negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa
penjajah. Hal yang sama untuk hukum perdata. Hukum perdata yang diberlakukan
bangsa Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan perjalanan sejarah yang
sangat panjang.
Pada
mulanya hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun
1814 yang diketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776-1824). Tahun 1816, Kempers
menyampaikan rencana code hukum tersebut pada masa pemerintahan Belanda
didasarkan pada hukum belanda kunodan diberi nama own Kempers. Dalam
perjalanannya bagi orang-orang Tiong Hoa dan bukan Tiong Hoa mengalami
pembedaan dalam pelaksanaan perundang-undangan dalam hukum perdata.
2. Hukum Perdata sejak Kemerdekaan
Hukum
perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih
berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk didalamnya hukum
perdata belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum (Rechtvacum), dibidang Hukum Perdata.
Menurut
Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia
didasarkan pada berberapa pertimbangan. Selain itu, secara keseluruhan hukum
perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami berberapa proses
perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia
sendiri. Hukum perdata ini meliputi enam pembahasan, yaitu : Hukum Agraria,
Hukum Perkawinan, Hukum Islam yang Direseptio, Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Jaminan Fidusia, dan Lembaga
Penjaminan Simpanan.
HUKUM PERIKATAN
A.
PERIKATAN
1.
Ketentuan Umum Perikatan
Perikatan
adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang
satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang
dapat berupa :
a.
Perbuatan,
misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b. Kejadian, misalnya kelahiran,
kematian,
c. Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa
hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap
pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya.
Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak
yang memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli
berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam
perjanjian hibah, pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan
pihak penerima hibah sebagai kreditor.
2. Pengaturan
Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan
mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi
aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan
Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus
meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII
KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah
ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya
setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan
namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem
terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a.
Tidak
dilarang Undang-Undang
b.
Tidak
bertentangan dengan ketertiban umum
c.
Tidak
bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka,
maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik
karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber
peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan
yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang
terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang
terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang,
dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan
Subjek perikatan
disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang
terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku perikatan
terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan.
Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1) Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2) Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3) Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4) Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
b. Wenang berbuat
Setiap
pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai
persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang
satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak
lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak
dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang
ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
1) Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2) Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3) Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4) Tidak berada dibawah pengampuan
5) Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
Perstujuan
pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk saling memenuhi
kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan
kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan
pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut
sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak
pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi
kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak
masing-masing.
Bagaimana jika halnya salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak
dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan
kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak.
c. Objek perikatan
Objek
perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang
dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan
dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara
halal bagi orang yang memilikinya.
Benda objek
perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak
adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil, hewan
ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat dipindahkan
dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek perikatan,
benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh
undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda dalam perdagangan
2) Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud
4) Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau
benda halal
5) Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan
pemiliknya
6) Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak
sah
d. Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah
terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus
halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi
tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan
sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH
Perdata).
4. Ketentuan Umum dan Khusus
Dalam
penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata diberlakukan
untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III (kecuali Pasal 1352
dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam KUHD. Menurut ketentuan
Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang mempunyai nama tertentu
maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan umum yang
dimuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab
yang lalu” dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang perikatan yang timbul dari
pejanjian dan Bab I tentang perikatan pada umumnya.
Penerapan
ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam ilmu hukum
dikenal dengan adagium iex specialis
deroget legi generali. Artinya, ketentuan hukum khusus yang dimenangkan
dari ketentuan hukum umum. Maknanya jika mengenai suatu hal sudah diatur secara
khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama tidak perlu diberlakukan
lagi. Jika suatu hal belum diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur
hal yang sama diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor
dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban
memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal
1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan
dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga
kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya,
menyerahkan benda, membayar harga benda, dan
memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan
rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya,
tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak
menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan
sesuatu, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor kepada kreditor atau sebaliknya, misalnya,
dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang. Dalam
perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan
tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan
membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan
perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan.
Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan
perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor
tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya,
tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan
tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan
perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus
membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat
terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang
membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak
bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang
lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan
memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta
kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang
diakui dan diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang
Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian,
Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
Sifat-sifat
prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat
ini memungkinkan debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu
atau tidak dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b. Prestasi itu harus mungkin. Artinya,
prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan segala upayanya.
Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
c. Prestasi itu harus dibolehkan
(halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika
prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d. Prestasi itu harus ada manfaat bagi
kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil
hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
e. Prestasi itu terdiri atas satu
perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa satu kali perbuatan
dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu
maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali
perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
3.
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua
kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun
kelalaian dan
b. Karena keadaan memaksa (force
majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.Untuk
menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru;
dan
c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau
terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan
wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor
supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya,
menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya
tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan
debitor supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan
tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam
waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor
dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat
juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan
negeri yang berwenang, yang disebut sommatie.
Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat
peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita acara penyampaiannya.
Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat tercatat, telegram,
faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda
terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke
stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita
oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPdt).
b. Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor
dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal
1266 KUHPdt)
c.
Perikatan untuk memberikan sesuatu,
risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2)
KUHPdt)
d. Debitor diwajibkan memenuhi
perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti
kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e. Debitor wajib membayar biaya perkara
jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force
majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena
terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang
membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan; atau
b. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang
menghalangi perbuatandebitor untuk berprestasi
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui
atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur (a) dan (c), maka
keadaan memaksa itu disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya absolute overmacht. Dasarnya adalah
ketidakmungkinan (impossinillity)
memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang
memenuhi unsure (b) dan (c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa
subjektif”, Vollmar menyebutnya relative
overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa
yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal” dan “perikatan gugur”
terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin
dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah
sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitor (sifat prestasi). Pada perikatan
gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya
debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditor. Jika prestasi
betul-betul dipenuhi oleh debitor, tetapi kreditor tidak menerima (menolak)
karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Persamaannya adalah pada
perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.
Pembentuk
Undang-Undang tidak mengatur keadaan memaksa secara umum dalam KUHPdt. Akan
tetapi, secara khusus diatur untuk perjanjian-perjanjian tertentu saja,
misalnya pada:
a. Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b. Perjanjian jual beli (Pasal 1460 KUHPdt);
c. Perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d. Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas
memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat apabila
terjadi keadaan memaksa. Risiko keadaan memaksa pada perjanjian hibah
ditanggung oleh kreditor (Pasal 1237 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada
perjanjian jual beli ditanggung oleh kedua belah pihak, penjual dan pembeli,
(surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 mengenai
Pasal 1460 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian tukar menukar
ditanggung oleh pemiliknya (Pasal 1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada perjanjian sewa menyewa
ditanggung oleh pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt). Menurut Pasal1243 KUHPdt,
ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika
debitor setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya;
atau seseuatu yang harus diberikan atau dikerjakannyam, hanya dapat diberikan
atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas adalah
kerugian yang timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai memenuhi
perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia
dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan,
misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan biaya iklan
b. Kerugian sesungguhnya karen kerusakan, kehilangan benda
milik kreditor akibat kelalaian debitor, misalnya, busuknya buah-buahan Karen
terlambat melakukan penyerahan
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan,
misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika
diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari
pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian
yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi).
Kerugian yang harus diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi
(kelalaian) debitor
c. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.
C. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk
verbintenis) adalah perikatan
yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih
akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan
perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena
terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat
di bagi tiga yaitu :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di
laksanakan (Pasal 1263 KUHP dt). Misalnya
Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya setelah
menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka
Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b. Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah
ada akan berakhir apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265
KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi kakaknya mendiami rumah
Arlita selama dia tugas di Perancis
dengan syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita
selesai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih
akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut
terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c. Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu
digantungkan pada waktu yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi
bahwa ia akan membayar utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang
menguning pada tanggal 1 agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang
menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga
pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda.
Dikatakan perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan
memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun,
debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu
dan benda sebagian benda yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu
dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan
berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara
tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape recorder atau stereo tape recorder di sebuah toko
barang elektronik dengan harga yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini,
pedagang tersebut dapat memilih yaitu menyerahkan radio tape recorder atau stereo
tape recorder. Akan tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang
memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih
salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan
menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib
memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam
perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi
itu, dia dapat mengganti prestasi lain. Misalnya, Agung berjanji kepada Rian
untuk meminjamkan mobilnya guna melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak
meminjamkan Karena rusak, dia dapat mengganti dengan sejumlah uang transport
untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang
debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor
berhadapan dengan beberapa orang debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa
orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor,
berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika prestasi tersebut sudah
dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP
dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut
tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang
dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor
–debitor lain dari tuntutan kreditor dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP
dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam
praktiknya adalah perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a. Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas
untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli warisnya secara
tanggung-menanggung.
b. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang
menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan
perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a. Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab
secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan.
b. Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama
menerima benda karena peminjaman, meka masing-masing untuk seluruhnya
bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman benda itu.
c. Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh
beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka
bersama. Mereka bertanggung jawab untuk seleruhnya terhadap penerima kuasa
mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d. Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin
sebagai seorang debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik
masing-masing terikat untuk seluruh utang.
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak
Dapat Dibagi
Suatu
perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi,
sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat
dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika
salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan
prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal
tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahannya
atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan
( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat
hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan yang tidak
dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh prestasi kepada setiap debitor dan setiap
debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhinya
prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan
menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat
menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor
hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan
ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi
prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian
atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk
menetapkan jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu
merupakan pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk
membebaskan kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah
di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila
seorang pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh
hari tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah
setiap hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan
kewajibannya, berarti dia wajib membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti
kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan
perikatan wajar (natuurlijke verbintenis,
natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal 1359 ayat (2)
KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum mengenai
sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu
sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah
terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi Poedjosewojo dalam kuliah hukum
perdata pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari
Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan
perikatan wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak
menentukan, tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan,
artinya keberadaan perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa
kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang iklas
dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan
dasar Negara Republik Indonesia.
Ada
contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti berikut
ini :
a. Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya
(Pasal 1766 KUHPdt)
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu
utang yang terjadi karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788
KUHPdt).
c. Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun
perorangan hapus karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang
waktu tiga puluh hari tahun.
d. Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.
E. PERWAKILAN SUKARELA
1.
Konsep Perwakilan Sukarela
Menurut
ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela tanpa mendapat
perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan
orang lain itu, secara diam-diam dia mengikatkan dirinya untuk meneruskan dan
menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili kepentingannya itu
dapat mengerjakan sendiri urusannya.
Figur
hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela
(zaakwaameming). Penyelenggaraan
urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu
dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak
yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh
undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan
perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang,
melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
2. Unsur-unsur perwakilan sukarela
Berdasarkan ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata terdapat
beberapa unsur-unsur konsep perwakilan sukarela, diantaranya:
a. Sukarela
Perbuatan yang dilakukan dengan sukarela yang artinya,
kesadaran sendiri tanpa mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
b. Tanpa Kuasa
Perbuatan yang dilakukan tanpa mendapatkan perintah (kuasa).
Artinya, pihak wakil sukarela itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa adanya
pesan, perintah ataupun kuasa dari pihak yang berkepentingan baik itu lisan
ataupun secara tertulis.
c. Mewakili urusan orang lain
Perbuatan dilakukan mewakili urusan
orang lain. Artinya pihak wakil sukarela bertindak untuk kepentingan orang lain
bukan kepentingan pribadinya. Urusan yang diwakilinya dapat berupa perbuatan
hukum atau yang lainnya.
d. Dengan atau tanpa pengetahuan
Perbuatan dilakukan dengan atau tanpa pengetahuan orang itu.
Artinya, orang yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya
diurus oleh orang lain.
e. Meneruskan dan menyelesaikan
Wakil sukarela wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan
itu. Artinya, sekali wakil sukarela mengurus urusan kepentingan orang lain, dia
wajib meneruskan sampai urusannya selesai sehingga orang yang diurus dapat
menikmati manfaatnya atau dapat mengurus sendiri segala sesuatu mengenai
urusannya itu.
f.
Bertindak menurut hukum
Wakil sukarela harus bertindak menurut hukum. Artinya, dalam
mengurus kepentingan orang lain itu harus dilakukan berdasar pada kewajiban
undang-undang atau bertindak tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang
berkepentingan itu.
2.
Kewajiban dan Hak Wakil Sukarela
Perikatan
itu bersumber dari Undang-Undang, maka kewajiban dan Hak Wakil Sukarela juga ditetapkan
dalam Undang-Undang. Kewajiban dan Hak tersebut adalah wakil sukarela wajib
mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan yang diwakilinya itu sampai
selesai dengan memberikan pertanggungjawabannya. Wakil sukarela mengurus
kepentingan itu, menanggung segala beban biaya atau ongkos pengurusan
kepentingan tersebut. Wakil sukarela yang mengurus kepentingan itu berhak
memperoleh penggantian dari pihak yang berkepentingan atas segala pengeluaran
perikatannya yang dibuat secara pribadi yang bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan (Pasal 1357 KUH Perdata).
3.
Kewajiban dan Hak Pihak Berkepentingan
Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat
oleh wakil sukarela atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang
telah dipenuhi oleh wakil sikarela (Pasal 1357 KUH Perdata). Pihak
berkepentingan berhak atas keringanan pembayaran penggantian atau pengeluaran
yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian wakil sukarela mengurus kepentingan
berdasar pada pertimbangan peengadilan (Pasal 1357 ayat (2) KUH Perdata). Pihak
berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan kepentingan
itu.
Dalam perikatan perwakilan tidak
mengenal yang namanya upah, karena ini bersifaat sukarela. Undang-undang
menentukan bahwa wakil sukarela yang mengurus kepentingan orang lain tanpa
perintah, tidk berhak atas upah (Pasal 1358 KUH Perdata). Perikatan wakil
sukarela sesuai dengan falsafah dasar negara Indonesia Pancasila. Perikatan
jenis ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional.
Ada beberapa perbedaan antara
perikatan pemberian kuasa (lastgeving) dengan perikatan perwakilan sukarela
(zaakwaarneming), yaitu sebagai berikut :
a. Pada perwakilan sukarela, perikatan
terjadi karena undang-undang, sedangakan pada pemberian kuasa, perikatan
terjadi karena perjanjian.
b. Pada perwakilan sukarela, perikatan
tidak berhenti jika pihak yang berkepentingan meninggal dunia, sedangkan pada
pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa meninggal.
c.
Pada perwakilan sukarela, tidak
dikenal upah karena dilakukan dengan sukarela, sedangkan pada pemberian kuasa,
penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.
F. PEMBAYARAN TAK TERUTANG (onverschulddigde betaling)
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa
barang siapa dengan itikad buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus
mengembalikan hasil dan bunganya. Selain itu harus pula membayar ganti rugi
jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya musnah di luar
kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya beserta biaya, kerugian dan
bunga kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah
sekalipun berada pada pihak yang berhak.
Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang
tidak terutang dan telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali
harganya. Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain
maka ia tidak wajib mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa
utang, tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut
conditio indebiti. Tuntutan semacam ini dapat dilakukn terhadap badan-badan
pemerintah, misalnya pembayaran pajak yang kemudian ternyata tidak ada pajak,
maka bisa dilakukan meminta kembali pembayaran tersebut.
G. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara
hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini
:
1. Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya
meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam
hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal
balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan
perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas
penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada
panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi
hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya penawaran pembayaran itu sah perlu
dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitor yang
wenang membayar;
c. Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah
ditetapkan;
d. Waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f. Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah
ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui; dan
g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita
disertai oleh dua orang saksi.
3.
Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan
utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama
dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah
penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama
lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika
debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika
kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam
hal ini utang lama lenyap.
4.
Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor
dan kreditor secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu
utang piutang lama lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi
syarat-syarat :
a. Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari
jenis dan kualitas yang sama;
b. Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
c. Utang
itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH
Perdata)
Setiap
utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini :
a. Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara
melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalnya karena pencurian;
b. Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan
atau dipinjamkan;
c. Terhadap suatu utang yang bersumber
pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH
Perdata) ;
d. Utang-utang Negara berupa pajak
tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang (yurisprudensi); dan
e. Utang utang yang timbul dari
perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan hutang (yurisprudensi).
5.
Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang
itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan.
Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini
utang piutang menjadi lenyap.
6.
Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya
atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan
menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu
hutang tidak boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal
1439 KUH Perdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditor kepada debitor merupakan bukti tentang pembebasan
utangnya.
7.
Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda
tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi
diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai
, menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus
(lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah,
misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak
membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan
bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya
benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga
akan mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.
8. Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu
perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak
belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu
tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar,
voidable). Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan
pembatalannya kepada pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
a. Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui
pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan.
b.
Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di
muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan
tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan
pembatasan waktu, yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk
pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu.
9.
Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis
perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal (nietig,
void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu
dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak
pernah terjadi perkatan.
10.
Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu
adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua
macam lampau waktu yaitu :
a. Lampau waktu untuk memperolah hak
milik atas suatu benda disebut acquisitieve
verjaring.
b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari
suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh
hak milik atas suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi
unsur-unsur adanya iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda it
uterus-menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas
hak, menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang
mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan,
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena
daluarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan adanya
daluarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan
terhadapnya tangkisan yang berdasar pada iktikad buruk.
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan
atas tunjuk (niet aan toonder), siapa
yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada
orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun
terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut
kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan
siapapun yang menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut pada orang
terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (pasal
1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal
seperti tersebut berikut ini:
a. Terhadap anak yang
belum dewasa, orang di bawah pengampuan;
b. Terhadap istri selam perkawinan
(ketentuan ini tidak berlaku lagi)
c. Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama
syarat itu tidak terpenuhi; dan
d. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu
warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan
mengenai hutang-piutangnya (pasal 1987-1991 KUH Perdata).
HUKUM PERJANJIAN
A. Standar
Kontrak
- Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
- Kontrak standar umum artinya
kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan
kepada debitur.
- Kontrak standar khusus, artinya
kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk
para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
- Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.
Suatu kontrak harus berisi:
1.
Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2.Subjek
dan jangka waktu kontrak
3.Lingkup
kontrak
4.Dasar-dasar
pelaksanaan kontrak
5.Kewajiban
dan tanggung jawab
6.Pembatalan
kontrak
B. Macam – Macam Perjanjian
1. Perjanjian Jual-beli
2.
Perjanjian
Tukar Menukar
3.
Perjanjian
Sewa-Menyewa
4.
Perjanjian
Persekutuan
5.
Perjanjian
Perkumpulan
6.
Perjanjian
Hibah
7.
Perjanjian
Penitipan Barang
8.
Perjanjian
Pinjam-Pakai
9.
Perjanjian
Pinjam Meminjam
10.
Perjanjian
Untung-Untungan
C. Syarat
Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
- Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
- Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai
wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. - Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
- Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
- Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun
batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya
terjadi karena :
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hokum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanji
- Prestasi Dan Wanprestasi
a.
Prestasi
Pengertian prestasi (performance)
dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis
dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu,
pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan
dalam kontrak yang bersangkutan. Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH
Perdata), yaitu berupa :
· Memberikan sesuatu;
· Berbuat sesuatu;
· Tidak berbuat sesuatu.
b.
Wanprestasi
Pengertian wanprestasi (breach of
contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti
yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak
yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum
diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi
tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena *:
· Kesengajaan;
· Kelalaian;
· Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan
atau kelalaian)
*Kecuali tidak dilaksanakan kontrak
tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan
pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya)
Daftar Pusaka
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Muhammad, Abdulkadir,
Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Nurbani, Erlis Septiana, Perbandingan Hukum perdata,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Salim HS, Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Bandung; PT. Refika Aditama, 2007.
Sofwan, Sri Sudewei Masjchoen, Hukum Perdata dan Hukum
Benda, Yogyakarta: Liberty.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2010.
https://purnama110393.wordpress.com diakses pada 13/09/2015
http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id/2012/09/asas-asas-hukum-perdata.html diakses pada tanggal 13/09/2015
http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-hukum-perdata.html diakses pada tanggal 13/09/2015
Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT
Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta:
Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma