TUGAS SOFTSKILL
(Bonus Demografi, MEA, ACFTA, AFTA)
DISUSUN OLEH :
NAMA KELOMPOK :
1. ANIS PRATIWI DININGRUM (21214281)
2. HILMA NOOR FAIZAH (24214994)
3. SHELVY SEPTIANI (21214220)
KELAS : 1EB34
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan
atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah SOFTSKILL PEREKONOMIAN INDONESIA ini yang tentang Bonus
Demografi, AFTA, ACFTA, dan MEA. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun.
Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita.Amin.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bekasi , 17 Mei 2015
Penyusun
- “BONUS DEMOGRAFI” DIANTARA PELUANG DAN TANTANGAN MENYAMBUT MEA
1.1 Pengertian dan penjelasan Bonus Demografi
Indonesia akan memasuki sebuah periode yang disebut
Bonus Demografi. Akhir-akhir ini media mulai sering mengulasnya, para analis
dan pejabat public diminta pandangannya, juga secara dalam dibahas dalam
seminar-seminar public dan secara ilmiah dikaji pula dalam
berbagai jurnal-jurnal ekonomi, sosial bahkan juga politik, khususnya dalam skala
domestic kita. Bila masih ingat, ia juga disinggung dalam acara depat capres
pada masa pilpres lalu.
Tulisan ini sebenarnya mencoba menyajikan benang merah dari pandangan-pandangan tersebut mengenai apa, kenapa dan bagaimana nantinya “Bonus Demografi” membawa pengaruh bagi masa depan Indonesia, setidaknya dalam kurun 30 tahun kedepan.
Bonus Demografi adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64tahun) di suatu wilayah lebih besar dari jumlah penduduk tidak produktif (kurang dari 14 tahun dan diatas 65 tahun). Artinya bahwa proporsi penduduk yang produktif (yang bekerja/angkatan kerja) lebih besar dari yang tidak produktif (tidak bekerja), sehingga tingkat kebergantungan penduduk tidak produktif kepada penduduk yang produktif menjadi kecil. Dalam kata lain, Bonus Demografi dapat diartikan sebagai terjadinya ledakan penduduk usia kerja dalam struktur umur masyarakat di suatu wilayah.
Secara teori dijelaskan para ahli penyebab terjadinya Bonus Demografi akibat terjadinya penurunan kelahiran pada periode 1970-1980an serta tumbuhnya anak-anak yang lahir pada periode tersebut menjadi angkatan kerja pada saat ini, sehingga diperkirakan pada rentang tahun 2012-2045 Indonesia memperoleh apa yang disebut dengan Bonus Demografi tersebut. Bahkan pada saatnya nanti, diperkirakan pada periode 2020-2030 akan terjadi suatu kondisi dimana angka ketergantungan paling rendah, hanya 46 orang tidak produktif menggantungkan hidupnya pada 100 orang yang bekerja. Periode ini disebut dengan istilah windows of opportunity.
Komposisi penduduk usia kerja yang besar, tentunya peluang yang harus dimanfaatkan. Mereka semestinya menjadi produktif secara ekonomi, bekerja dan menghasilkan, sehingga dapat memiliki kehidupan layak bersama keluarganya. Namun di era global ini, menjadi dewasa saja tidak cukup untuk menjadi produktif. haruslah memiliki kualitas. Di era modern, lapangan kerja hanya bisa dimasuki mereka yang berkualitas, punya nilai tambah sebagai pembeda, juga kreatif sehingga dapat kompetitif. Dengan kualitas mereka tidak hanya dapat memanfaatkan lapangan kerja yang ada, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja baru.
Ingat bahwa awal babak Bonus Demografi sudah dimulai. Bilapun menunggu moment
windows of opportunity, waktunya tinggal 15 tahun lagi, dan akan berlangsung selama 10 – 25 tahun kemudian. Maka setiap anak yang hidup saat ini, pada masanya nanti akan menjadi petarung di periode itu. Maka membangun kualitas manusia adalah hal yang niscaya segera. Perlu percepatan, bahkan lompatan quantum, bila tidak ingin kehilangan peluang. Bahkan tantangan kini semakin nyata. Tahun 2015 ini saja kita sudah dihadapkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dunia global menyebabkan kompetisi tidak hanya sesama anak bangsa, tetapi tenaga kerja asing juga turut dalam pusaran kompetisi. Idealnya bahkan, anak-anak bangsa Indonesia dapat berjaya di negeri orang, go international.
berbagai jurnal-jurnal ekonomi, sosial bahkan juga politik, khususnya dalam skala
domestic kita. Bila masih ingat, ia juga disinggung dalam acara depat capres
pada masa pilpres lalu.
Tulisan ini sebenarnya mencoba menyajikan benang merah dari pandangan-pandangan tersebut mengenai apa, kenapa dan bagaimana nantinya “Bonus Demografi” membawa pengaruh bagi masa depan Indonesia, setidaknya dalam kurun 30 tahun kedepan.
Bonus Demografi adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64tahun) di suatu wilayah lebih besar dari jumlah penduduk tidak produktif (kurang dari 14 tahun dan diatas 65 tahun). Artinya bahwa proporsi penduduk yang produktif (yang bekerja/angkatan kerja) lebih besar dari yang tidak produktif (tidak bekerja), sehingga tingkat kebergantungan penduduk tidak produktif kepada penduduk yang produktif menjadi kecil. Dalam kata lain, Bonus Demografi dapat diartikan sebagai terjadinya ledakan penduduk usia kerja dalam struktur umur masyarakat di suatu wilayah.
Secara teori dijelaskan para ahli penyebab terjadinya Bonus Demografi akibat terjadinya penurunan kelahiran pada periode 1970-1980an serta tumbuhnya anak-anak yang lahir pada periode tersebut menjadi angkatan kerja pada saat ini, sehingga diperkirakan pada rentang tahun 2012-2045 Indonesia memperoleh apa yang disebut dengan Bonus Demografi tersebut. Bahkan pada saatnya nanti, diperkirakan pada periode 2020-2030 akan terjadi suatu kondisi dimana angka ketergantungan paling rendah, hanya 46 orang tidak produktif menggantungkan hidupnya pada 100 orang yang bekerja. Periode ini disebut dengan istilah windows of opportunity.
Komposisi penduduk usia kerja yang besar, tentunya peluang yang harus dimanfaatkan. Mereka semestinya menjadi produktif secara ekonomi, bekerja dan menghasilkan, sehingga dapat memiliki kehidupan layak bersama keluarganya. Namun di era global ini, menjadi dewasa saja tidak cukup untuk menjadi produktif. haruslah memiliki kualitas. Di era modern, lapangan kerja hanya bisa dimasuki mereka yang berkualitas, punya nilai tambah sebagai pembeda, juga kreatif sehingga dapat kompetitif. Dengan kualitas mereka tidak hanya dapat memanfaatkan lapangan kerja yang ada, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja baru.
Ingat bahwa awal babak Bonus Demografi sudah dimulai. Bilapun menunggu moment
windows of opportunity, waktunya tinggal 15 tahun lagi, dan akan berlangsung selama 10 – 25 tahun kemudian. Maka setiap anak yang hidup saat ini, pada masanya nanti akan menjadi petarung di periode itu. Maka membangun kualitas manusia adalah hal yang niscaya segera. Perlu percepatan, bahkan lompatan quantum, bila tidak ingin kehilangan peluang. Bahkan tantangan kini semakin nyata. Tahun 2015 ini saja kita sudah dihadapkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dunia global menyebabkan kompetisi tidak hanya sesama anak bangsa, tetapi tenaga kerja asing juga turut dalam pusaran kompetisi. Idealnya bahkan, anak-anak bangsa Indonesia dapat berjaya di negeri orang, go international.
Untuk menjadi berkualitas, mereka harus disiapkan, dididik dan dilatih agar
punya kompetensi dan daya saing. Mereka juga harus unggul dan menjadi juara,
karenanya harus dibentuk menjadi sehat dan kuat, sehingga memiliki daya tahan
yang prima. Artinya bahwa untuk berkualitas haruslah menjadi pintar dan sehat,
sehingga perlu dijamin pendidikan dan
kesehatannya.
Jadi yang perlu dilakukan adalah bagaimana intervensi yang segera dan tepat dalam menjamin pendidikan dan kesehatan mereka. Bila berkaca pada potret kualitas kita saat ini, setidaknya kita bisa mengacu pada perspektif Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai
parameter.
Secara berkala PBB melalui UNDP merilis laporan IPM negara-ngera di dunia atas penilaian laporan pembangunan setiap negara. Indeks inilah yang menjadi acuan sebuah bangsa dalam membandingkan kualitas pembangunan manusianya dengan bangsa-bangsa lain. Berdasarkan laporan terbaru tahun 2014 ini (bisa dilihat di situs resmi UNDP http://hdr.undp.org), Indonesia kini berada diperingkat 108 dari 187 negara, dengan nilai 0,684. Angka ini lebih baik dari periode sebelumnya yang konon katanya berada pada peringkat 121, dan sebelumnya lagi pada peringkat 124. Sayangnya peringkat kita tidak lebih baik dari negara serumpun kita, seperti Singapore yang peringkat 9, Brunei Darussalam peringkat 30, Malaysia peringkat 62, dan Thailand peringkat 89. Karenanya Indonesia tergolong dalam kelompok negara-negara dengan Indeks Pembangunan Manusia Menengah. Sebagai informasi saja, Norwegia duduk sebagai negara dengan IPM tertinggi di dunia.
Laporan tersebut menyebutkan usia harapan hidup orang Indonesia selama 70,8 tahun. Mengutip dari salah satu media online (www.voaindonesia.com), usia harapan hidup orang Indonesia sebelumnya hanya selama 57,6 tahun, bergerak menjadi 69,8 tahun, dan terakhir menjadi 70,8 tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, namun tetap tidak sebaik
Thailand yang selama 74,4 tahun, atau bahkan Singapore, Brunei dan Malaysia yang diatasnya. Sekedar informasi, Jepang adalah negara dengan Usia Harapan Hidup tertinggi di dunia, selama 83,6 tahun.
Lalu bagaimana potret pendidikan kita? Salah satu indikator lainnya adalah rata-rata lama bersekolah. Hasilnya rata-rata lama sekolah orang Indonesia hanya 7,5 tahun (sedikit lebih rendah dari rilis BPS selama 8,08 tahun). Artinya rata-rata lama sekolah orang Indonesia hanya sampai kelas 2 SMP saja. Bila dibanding negara ASEAN lainnya, ternyata kita berada dibawah Singapore yang selama 10,2 tahun, disusul Malaysia 9,5 tahun, Philipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun. Bila jujur, angka itupun masih mengabaikan kualitas dari sekolah-sekolah kita yang katanya masih rendah, dan tidak merata di pelosok negeri.
Mari kita fokus pada potensi anak-anak dan remaja kita kedepan, menginga merekalah “players” windows of opportunity pada masanya nanti. Dan ternyata Puslitbang Kependudukan BKKBN pada tahun 2013 merilis hanya 42,9 pesen remaja wanita dan hanya 35,3 persen remaja pria yang tamat SMA keatas. Sisanya bervariasi, mulai tidak tamat SMA, SMP dan juga SD. Bila dikalkulasi maka hanya sekitar 25 juta remaja saja dari total 64 juta remaja yang tamat SMA keatas.
Sekarang mari kita hubungkan semua catatan-catatan mengenai IPM tadi dengan prestasi yang telah diraih bangsa ini. Bila boleh jujur tidak banyak prestasi besar yang kita raih sebagai sebuah bangsa, setidaknya dalam satu dua decade terakhir? Olahraga misalnya, kita tak lagi menjadi rajanya asia tenggara. Terbukti bahwa peringkat IPM tadi
berkolerasi dengan prestasi yang diraih Bangsa Indonesia.
Inilah potret bangsa kita, bahwa kita masih berlari di belakang bangsa-bangsa lain, bahkan di belakang negara-negara serumpun ASEAN. Jika tidak ingin finish di urutan belakang, maka perlu segera berbenah. Jangan sampai menjadi penonton keberhasilan bangsa lain. Karena sesal kemudian tiada ada arti, Bonus Demografi hanya sekali sepanjang sejarah bangsa.
Kesimpulannya butuh kerja keras kita menangkap peluang ini. Indikatornya jelas, bahwa pertama angkatan kerja yang berlimpah haruslah berkualitas, caranya dengan menjamin pendidikan dan kesehatannya agar mereka menjadi orang-orang yang kompetitif dalam merebut pasar, dan mampu go international. Kedua, supply tenaga kerja produktif harus diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja (employment) sekaligus menumbuhkan enterpreneurship. Ini juga butuh sikap politik yang tegas dan memihak kepada anak-anak bangsa agar mereka menjadi tuan di negerinya sendiri.
kesehatannya.
Jadi yang perlu dilakukan adalah bagaimana intervensi yang segera dan tepat dalam menjamin pendidikan dan kesehatan mereka. Bila berkaca pada potret kualitas kita saat ini, setidaknya kita bisa mengacu pada perspektif Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai
parameter.
Secara berkala PBB melalui UNDP merilis laporan IPM negara-ngera di dunia atas penilaian laporan pembangunan setiap negara. Indeks inilah yang menjadi acuan sebuah bangsa dalam membandingkan kualitas pembangunan manusianya dengan bangsa-bangsa lain. Berdasarkan laporan terbaru tahun 2014 ini (bisa dilihat di situs resmi UNDP http://hdr.undp.org), Indonesia kini berada diperingkat 108 dari 187 negara, dengan nilai 0,684. Angka ini lebih baik dari periode sebelumnya yang konon katanya berada pada peringkat 121, dan sebelumnya lagi pada peringkat 124. Sayangnya peringkat kita tidak lebih baik dari negara serumpun kita, seperti Singapore yang peringkat 9, Brunei Darussalam peringkat 30, Malaysia peringkat 62, dan Thailand peringkat 89. Karenanya Indonesia tergolong dalam kelompok negara-negara dengan Indeks Pembangunan Manusia Menengah. Sebagai informasi saja, Norwegia duduk sebagai negara dengan IPM tertinggi di dunia.
Laporan tersebut menyebutkan usia harapan hidup orang Indonesia selama 70,8 tahun. Mengutip dari salah satu media online (www.voaindonesia.com), usia harapan hidup orang Indonesia sebelumnya hanya selama 57,6 tahun, bergerak menjadi 69,8 tahun, dan terakhir menjadi 70,8 tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, namun tetap tidak sebaik
Thailand yang selama 74,4 tahun, atau bahkan Singapore, Brunei dan Malaysia yang diatasnya. Sekedar informasi, Jepang adalah negara dengan Usia Harapan Hidup tertinggi di dunia, selama 83,6 tahun.
Lalu bagaimana potret pendidikan kita? Salah satu indikator lainnya adalah rata-rata lama bersekolah. Hasilnya rata-rata lama sekolah orang Indonesia hanya 7,5 tahun (sedikit lebih rendah dari rilis BPS selama 8,08 tahun). Artinya rata-rata lama sekolah orang Indonesia hanya sampai kelas 2 SMP saja. Bila dibanding negara ASEAN lainnya, ternyata kita berada dibawah Singapore yang selama 10,2 tahun, disusul Malaysia 9,5 tahun, Philipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun. Bila jujur, angka itupun masih mengabaikan kualitas dari sekolah-sekolah kita yang katanya masih rendah, dan tidak merata di pelosok negeri.
Mari kita fokus pada potensi anak-anak dan remaja kita kedepan, menginga merekalah “players” windows of opportunity pada masanya nanti. Dan ternyata Puslitbang Kependudukan BKKBN pada tahun 2013 merilis hanya 42,9 pesen remaja wanita dan hanya 35,3 persen remaja pria yang tamat SMA keatas. Sisanya bervariasi, mulai tidak tamat SMA, SMP dan juga SD. Bila dikalkulasi maka hanya sekitar 25 juta remaja saja dari total 64 juta remaja yang tamat SMA keatas.
Sekarang mari kita hubungkan semua catatan-catatan mengenai IPM tadi dengan prestasi yang telah diraih bangsa ini. Bila boleh jujur tidak banyak prestasi besar yang kita raih sebagai sebuah bangsa, setidaknya dalam satu dua decade terakhir? Olahraga misalnya, kita tak lagi menjadi rajanya asia tenggara. Terbukti bahwa peringkat IPM tadi
berkolerasi dengan prestasi yang diraih Bangsa Indonesia.
Inilah potret bangsa kita, bahwa kita masih berlari di belakang bangsa-bangsa lain, bahkan di belakang negara-negara serumpun ASEAN. Jika tidak ingin finish di urutan belakang, maka perlu segera berbenah. Jangan sampai menjadi penonton keberhasilan bangsa lain. Karena sesal kemudian tiada ada arti, Bonus Demografi hanya sekali sepanjang sejarah bangsa.
Kesimpulannya butuh kerja keras kita menangkap peluang ini. Indikatornya jelas, bahwa pertama angkatan kerja yang berlimpah haruslah berkualitas, caranya dengan menjamin pendidikan dan kesehatannya agar mereka menjadi orang-orang yang kompetitif dalam merebut pasar, dan mampu go international. Kedua, supply tenaga kerja produktif harus diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja (employment) sekaligus menumbuhkan enterpreneurship. Ini juga butuh sikap politik yang tegas dan memihak kepada anak-anak bangsa agar mereka menjadi tuan di negerinya sendiri.
- AFTA (Asean Free Trade Area)
2.1 Sejarah organisasi AFTA (Asean Free Trade Area)
Sejarah organisasi AFTA (Asean Free Trade
Area). AFTA atau kawasan perdagangan bebas adalah suatu bentuk kerja sama
negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk kawasan perdagangan bebas.
Pembentukan AFTA berdasarkan pertemuan para Menteri Ekonomi anggota ASEAN pada
tahun 1994 di Chiang Mai, Thailand.
- Pertemuan
Chiang Mai menghasilkan tiga keputusan penting sebagai
berikut :
Seluruh anggota ASEAN sepakat bahwa pembentukan kawasan perdagangan bebas dipercepat pelaksanaannya dari tahun 2010 menjadi 2005. - Jumlah produk yang telah disetujui masuk dalam daftar AFTA (inclusion list/IL) ditambah dan semua produk yang tergolong dalam temporary exclusion list/TEL secara bertahap akan masuk IL. Semua produk TEL diharapkan masuk dalam IL pada tanggal 1 Januari 2000.
- Memasukkan semua produk pertama yang belum masuk dalam skema common effective preferential tariff (CEPT) yang terbagi sebagai berikut :
1. Daftar
produk yang segera masuk dalam IL menjadi immediate inclusion list/IIL mulai
tarifnya menjadi 0–5% pada tahun 2003.
2. Produk
yang memiliki sensitivitas (sensitive list), seperti beras dan gula, akan
diperlakukan khusus di luar skema CEPT.
3. Produk
dalam kategori TEL akan menjadi IL pada tahun 2003.
Negara-negara anggota ASEAN menggagas melaksanakan
AFTA dengan tujuan :
- Meningkatkan perdagangan dan spesialisasi di lingkungan keanggotaan ASEAN.
- Meningkatkan jumlah ekspor negara-negara anggota ASEAN.
- Meningkatkan investasi dalam kegiatan produksi dan jasa antaranggota ASEAN.
- Meningkatkan masuknya investasi dari luar negara anggota ASEAN.
2.2
Pengertian AFTA (Asean Free Trade Areas)
Istilah perdagangan bebas identik dengan adanya
hubungan dagang antar negara anggota maupun negara non-anggota. Dalam
implementasinya perdagangan bebas harusmemperhatikan beberapa aspek yang
mempengaruhi yaitu mulai dengan meneliti mekanisme perdagangan, prinsip sentral
dari keuntungan komparatif (comparative advantage),serta pro dan kontra di
bidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana berbagai jenis mata uang (atau
valuta asing) diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. ASEAN Free
Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada
hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara
anggota ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA. Sebagai contoh dari keanggotaan AFTA
adalah sebagai berikut, Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual
radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual
kulit ke Vietnam.
Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan
mengkonsumsi lebih banyak dibandingyang dapat diproduksinya sendiri. Namun
dalam konsep perdagang tersebut tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%)
maupun hambatan non-tarif bagi negara – negaraASEAN melalui skema CEPT-AFTA.
Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan
penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh
negara-negara ASEAN. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya
operasional mampu ditekan sehingga akan menguntungkan.
2.3 Skema CEPT-AFTA
Pada pelaksanaan perdagangan bebas
khususnya di Asia Tenggara yang tergabung dalam AFTA proses perdagangan
tersebut tersistem pada skema CEPT-AFTA. Common Effective Preferential Tarif
Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan
non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Dalam skema
CEPT-AFTA barang – barang yang termasuk dalam tariff scheme adalah semua produk
manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta
produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian.
(Produk-produk pertanian sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skema
CEPT). Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah suatu
produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif dihapuskan dalam
jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk menikmati konsensi CEPT.
2.4 Tujuan Pembentukan AFTA
- Meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia.
- Untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.
- Meningkatkan investasi di antara Negara Negara
Oleh karena itu,
penerapan AFTA guna meningkatkan perdagangan antar anggota juga memiliki
beberapa persyaratan produk yang harus dipenuhi yaitu :
- Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari Negara eksportir maupun importir.
- Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council);
- Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%. Suatu produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara anggota ASEAN.
Berikut rumus perhitungan kandungan
lokal ASEAN 40%Valune of Imported + Valune of Parts or produce Produce
Non-ASEAN Materials Undetermined x100% is less
FOB price or equal than 60%. Yang dimaksud dengan ketentuan asal barang (Rules of Origin) adalah Rules of Origin didefinisikan sebagai sejumlah kriteria yang digunakan untuk menentukan negara atau wilayah pabean asal dari suatu barang atau jasa dalam perdagangan internasional.
FOB price or equal than 60%. Yang dimaksud dengan ketentuan asal barang (Rules of Origin) adalah Rules of Origin didefinisikan sebagai sejumlah kriteria yang digunakan untuk menentukan negara atau wilayah pabean asal dari suatu barang atau jasa dalam perdagangan internasional.
2.5 Penerapan AFTA Secara Penuh
AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 sejak
1 Januari 2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya
masih diperkenankan lebih dari 0 - 5%). Target tersebut diterapkan untuk negara
ASEAN-6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006); Laos dan Myanmar
(2008); dan Cambodia (2010). AFTA 2002 tidak mencakup pula adanya kebebasan
keluar masuk sektor jasa (misalnya arus perpindahan tenaga) di negara-negara
ASEAN. CEPT-AFTA hanya mencakup pembebasan arus perdagangan barang. Sedangkan
liberalisasi sektor jasa di atur sendiri dengan kesepakatan yang di sebut ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS), dimana liberalisasinya ditargetkan
tercapai pada tahun 2020. Perkembangan terakhir AFTA Dalam KTT Informal ASEAN
III para kepala negara menyetujui usulan dari Singapura untuk menghapuskan
semua bea masuk pada tahun 2010 untuk negara-negara ASEAN-6 dan tahun 2015
untuk negara-negara baru ASEAN. Selanjutnya dalam KTT ASEAN-Cina tahun 2001,
telah di sepakati pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area dalam waktu 10 tahun.
2.6 Dampak AFTA
Ada banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas,
antara lain spesialisasi dan peningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh,
ada dua negara yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua
negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara
tersebut akan membuat negara yang memiliki keunggulan komparatif
(lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan negara pertama) akan
membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan
mengimpor barang B dari negara kedua.
Sebaliknya, negara kedua akan memproduksi hanya barang
B, mengekspor sebagian barang B ke negara pertama, dan akan mengimpor sebagian
barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat produksi secara keseluruhan
akan meningkat (karena masing-masing negara mengambil spesialisasi untuk
memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih efisien) dan pada
saat yang bersamaan volume perdagangan antara kedua negara tersebut akan
meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut memproduksi
kedua jenis barang dan tidak melakukan perdagangan).
Saat ini AFTA sudah hampir seluruhnya
diimplementasikan. Dalam perjanjian perdagangan bebas tersebut, tarif impor
barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini
tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan
menjadi 5 persen hingga 0 persen.
Sesuai dengan teori yang dibahas di atas, AFTA
tampaknya telah dapat meningkatkan volume perdagangan antarnegara ASEAN secara
signifikan. Ekspor Thailand ke ASEAN, misalnya, mengalami pertumbuhan sebesar
86,1 persen dari tahun 2000 ke tahun 2005. Sementara itu, ekspor Malaysia ke
negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami kenaikan sebesar 40,8 persen dalam
kurun waktu yang sama.
Adanya AFTA telah memberikan kemudahan kepada
negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN
dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia, kemampuan
negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan masih lebih
baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor negara
ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pangsa
pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara
ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan
ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa pasar ASEAN di
Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar
negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata
daya penetrasi produk-produk China di Indonesia tidak setinggi daya penetrasi
produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China menguasai sekitar 6,0 persen
dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1 persen, masih
jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN. Jadi, saat ini
produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan
dengan produk-produk dari China.
Sebaliknya, berbeda dengan negara-negara ASEAN yang
lain, tampaknya belum terlalu diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih
menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hal
ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara ASEAN yang tidak
mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan. Pada tahun
2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen.
Dan pada tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi
di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di
setiap negara untuk dapat menyuplai produknya ke negara-negara tersebut.
Produsen internasional dapat memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan
basis produksinya dan memenuhi permintaan produknya di negara di sekitarnya
dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN membuat
kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih murah dari
sebelumnya. Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis suatu produk
adalah yang dianggap dapat membuat produk tersebut dengan lebih efisien
(spesialisasi).
Negara-negara di kawasan ini tentunya berebut untuk
dapat menjadi pusat produksi untuk melayani pasar ASEAN karena semakin banyak
perusahaan yang memilih negara tersebut untuk dijadikan pusat produksi, akan
semakin banyak lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia tampaknya
masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi.
- ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)
3.1 Pengertian dan penjelasan ACFTA
ACFTA adalah suatu kawasan
perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Cina. Kerangka kerjasama
kesepakatan ini ditandatangani di Phnom Penh, Cambodia, 4 November 2002, dan
ditujukan bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas pada tahun 2010, tepatnya
1 Januari 2010. Setelah pembentukannya ini ia menjadi kawasan perdagangan bebas
terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran
volume perdagangan, setelah Kawasan Perekonomian Eropa dan NAFTA.
Usulan pembentukan kawasan ini
dicetuskan Cina pada bulan November 2000. Pada saat itu Cina memprediksi akan
menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah
Jepang dan Uni Eropa. Pada rentang waktu antara 2003 dan 2008, volume
perdagangannya dengan ASEAN tumbuh dari US$59.6 milyar menjadi US$192.5 milyar.
Cina juga diprediksi menjadi negara eksporter dunia terbesar pada tahun 2010.
Perjanjian ACFTA ini telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES No.48 tahun 2004 dan
mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2010. Namun yang jadi kendala utama
pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di Indonesia, bahwa ternyata banyak
pihak yang meminta agar waktu berlakunya perjanjian ini agar direnegoisasi
kembali oleh pemerintah, yang menurut prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati
ekonomi Indonesia akan dapat merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari
serbuan produk China yang masuk ke Indonesia. Adapun yang perlu diperhatikan
selanjutnya oleh pemerintah Indonesia dalam merenegosi-asikan kembali ACFTA
dalam lingkup pos-pos tertentu yang dianggap belum siap menghadapi pelaksanaan
ACFTA di Indonesia, maka pemerintah dalam pengertian paham monisme yang dianut
pada UU No. 24 tahun 2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat mengarahkan kepada
kesamaan kedudukan dan saling menguntungkan antarnegara peserta. Namun
kendalanya adalah UU ini hanya berlaku di Indonesia, maka tugas pemerintah yang
paling berat adalah meyakinkan negara sesama anggota ASEAN agar mendukung
rencana yang diusung pemerintah Indonesia mengenai ketidak siapan beberapa post
yang belum siap sepenuhnya menghadapi akibat dari pelaksanaan perdagangan bebas
ACFTA di Indonesia.
Selanjutnya, langkah yang tidak
kalah pentingnya adalah membuat aturan yang jelas perihal persamaan kedudukan
para negara peserta dalam perjanjian ACFTA ini, demi untuk menghindarkan
dominasi negara terkuat khususnya mengenai penentuan harga-harga atas produk
barang maupun jasa, (angan sampai Indonesia hanya menjadi Price Taker,
sementara Negara Maju menjadi Price Maker.
Menyediakan dan membentuk aturan
yang tegas terkait dengan ketentuan standar nasional dari beberapa negara
peserta dan ketentuan anti dumping. Sehingga dengan adanya aturan main yang
jelas tersebut, akan dapat ditentukan standar minimum yang harus dipenuhi untuk
dapat menembus pangsa pasar yang disepakati dalam perjanjian ACFTA, disamping
dengan adanya ketentuan yang jelas akan sanksi dan aturan anti dumping juga
akan dapat menciptakan fair trade competition dan bukan unfair trade competion.
Disinilah fungsi utama pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas regulasi,
memproteksi ketahanan perekonomian nasional dari gempuran masuknya
produk-produk asing ke dalam negeri.
Tahun 2009 yang penuh tantangan
telah kita lewati. Kita patut bersyukur di bawah tekanan perekonomian global
yang masih belum sepenuhnya pulih, perekonomian nasional masih mampu tumbuh.
Dari sisi fundamental, sejumlah
indikator menunjukkan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini lebih
meyakinkan. KADIN mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga
2009 sudah kembali naik menjadi 4,2 persen dari angka terendah 4,0 persen pada
triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahun 2009 mencatat angka terendah sebesar
2,7 persen. Sementara itu, nilai tukar mulai stabil pada kisaran Rp 9.000-Rp
9.500 per dollar AS. Ekspor year on year sudah beberapa bulan terakhir
meningkat kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah.
Penjualan sepeda motor, mobil, dan semen menggeliat. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) menembus 2.600 pada minggu kedua Januari 2010 dan masih
bertahan hingga akhir minggu lalu. Tercatat pada hari penutupan perdagangan
Bursa Efek Indonesia 2009, investor asing membeli lebih dari satu miliar saham
(Rp 2,5 triliun) dan melakukan transaksi jual 700-an juta lembar saham (Rp 1,7
triliun) sehingga pada posisi pembelian bersih. Porsi asing tampaknya juga
mendominasi. Modal asing meminati Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI). Tercatat pada akhir 2009 investor asing membeli SBI Rp 44,1
triliun dan pada akhir minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 49,5 triliun.
Sedangkan investor asing membeli SUN hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 106,3
triliun dan pada minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 109 triliun. Data di
perbankan hingga November tahun lalu menunjukkan bahwa sejumlah Rp 1.398
triliun kredit tersalurkan dengan penekanan pada kredit sektor perdagangan,
restoran dan hotel mencapai Rp 290 triliun, kredit manufaktur Rp 243 triliun,
jasa dunia usaha Rp 146 triliun, dan sisanya untuk pertanian, pertambangan,
peralatan, konstruksi, pengangkutan, dan telekomunikasi.Karena itu,
International Institute for Management Development dalam publikasi tahunan
terbarunya, World Competitiveness Yearbook (2009), menempatkan daya saing
Indonesia di posisi ke-42 tahun 2009 dari urutan ke-51 tahun 2008. Memang harus
diakui bahwa peningkatan kondisi Makro ini bukan disebabkan oleh pembenahan
mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena negara-negara lain banyak yang
terkapar akibat krisis global. Kendatipun demikian, momentum ini harus cepat
dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan terhadap unsur-unsur utama penentu daya
saing. Jika kita abaikan lagi, negara-negara yang kini mengalami kesulitan
ekonomi akan segera pulih dan berpotensi segera mengejar Indonesia.
3.2 Pengaruh ACFTA bagi
Indonesia
ACFTA membawa dampak terhadap
industri-industri domestik dalam negeri hal ini membawa pengaruh terhadap
stabilitas Indonesia. ini dilihat dari dua sektor industri yaitu industri
tekstil dan alas kaki. Impor Indonesia dari China untuk barang-barang tekstil
dan alas kaki mengalami peningkatan yang cukup signifikan, penyebabnya adalah
harga yang murah dan lebih beragam. Hal ini mengakibatkan pasar domestik
dikuasai oleh barang-barang China sehingga barang buatan dalam negeri tidak
mampu bersaing.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan
oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi
menyelamatkan industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan
peningakatan daya saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk
impor tidak menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang
lebih besar untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta
mengambil kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi
indonesia.
Selain itu walaupun ACFTA banyak
membawa pengaruh negatif terhadap industri-industri dalam negeri akan tetapi
Indonesia masih bisa mendapatkan peluang yaitu dengan meningkatkan ekspor
produk-produk unggulan dalam negeri, Indonesia harus jeli melihat peluang yanga
ada agar dapat mengambil keuntungan yang mampu menopang perekonomian indoensia.
Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam bidang perdagangan
luar negeri adalah bagaimana meningkatkan daya saing terhadap ekonomi
negara-negara kawasan yang makin meningkat pertumbuhan dan produktifitasnya.
Tujuan Framework Agreement ACFTA adalah:
(a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama
perdagangan kedua pihak;
(b) meliberalisasikan perdagangan barang
dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif;
(c) mencari area baru dan mengembangkan
kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;
(d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang
lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani kesenjangan
yang ada di kedua belah pihak.
Dalam Framework Agreement, para
pihak menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:
- Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang;
- Liberalisasi secara progressif barang dan jasa;
- Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China FTA.
Dalam ACFTA
disepakati mengenai penurunan atau penghapusan tarif bea masuk yang terbagi
dalam tiga tahap yaitu:
(a)
Tahap I: Early harvest programme (EHP) yakni penurunan atau
penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman
dan lain-lain, yang dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0
persen pada 1 Januari 2006.
(b)
Tahap II: Penurunan tariff normal (Normal Track Programme)
yang dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok tarif yang dilakukan melalui 4
tahapan dan sensitive track (Sensitive dan Highly Sensitive)
yang terdiri dari 2 jenis.
(c)
Tahap III: Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules
of Origin (ROO) yang mengharuskan eksportir untuk menggunakan Form E SKA
agar mendapat konsesi tarif ACFTA.
Sesuai kesepakatan yang dicapai pada
ASEAN-China Summit yang diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei
Darussalam, pada 6 Nopember 2001, ACFTA sudah terbentuk dalam waktu 10 tahun.
Atas dasar itulah, ACFTA mulai berlaku per 1 Januari 2010.
Pemerintah Indonesia mengesahkan Framework Agreement
melalui Keppres No. 48 Tahun 2002 tentang Pengesahan Framework Agreement On
Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian
Nations And The People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja
Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China), pada 15 Juni 2004.
Inilah dasar hukum dari pemberlakuan ACFTA di Indonesia.
Pengesahan Framework Agreement
melalui Keppres telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (lihat pasal 11 jo. pasal 10 UU No. 24 Tahun
2000).
Dasar hukum:
Keputusan Presiden
No. 48 Tahun 2002 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive
Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And
The People's Republic Of China.
- MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN)
4.1 Pengertian dan penjelasan MEA
Menurut
yang di lansir dari surat kabar TEMPO.CO, Nay Pyi Taw - Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) dicetuskan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-9 pada 2003 di
Bali. Ketika itu, para pemimpin ASEAN menyepakati Bali Concord II yang memuat
tiga pilar untuk mencapai visi ASEAN 2020. Yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan
politik-keamanan.
Dalam soal ekonomi, upaya pencapaian visi ASEAN diwujudkan dalam bentuk MEA. Kerja sama ini merupakan komitmen untuk menjadikan ASEAN, antara lain, sebagai pasar tunggal dan basis produksi serta kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata.
Pada 2007, pemimpin ASEAN menyepakati percepatan waktu implementasi MEA dari 2020 menjadi 2015. Untuk mewujudkannya, dirumuskan cetak biru MEA yang dibagi dalam empat tahap, dari 2008 hingga 31 Desember 2015.
Menurut data Sekretariat ASEAN yang dilansir oleh Kementerian Perdagangan, dalam pertemuan Senior Economic Officials Meetings ASEAN di Nay Pyi Taw, Myanmar, Ahad, 24 Agustus 2014, disebutkan bahwa MEA telah memberi banyak manfaat bagi negara-negara anggotanya. Berikut ini manfaat MEA bagi Indonesia:
Dalam soal ekonomi, upaya pencapaian visi ASEAN diwujudkan dalam bentuk MEA. Kerja sama ini merupakan komitmen untuk menjadikan ASEAN, antara lain, sebagai pasar tunggal dan basis produksi serta kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata.
Pada 2007, pemimpin ASEAN menyepakati percepatan waktu implementasi MEA dari 2020 menjadi 2015. Untuk mewujudkannya, dirumuskan cetak biru MEA yang dibagi dalam empat tahap, dari 2008 hingga 31 Desember 2015.
Menurut data Sekretariat ASEAN yang dilansir oleh Kementerian Perdagangan, dalam pertemuan Senior Economic Officials Meetings ASEAN di Nay Pyi Taw, Myanmar, Ahad, 24 Agustus 2014, disebutkan bahwa MEA telah memberi banyak manfaat bagi negara-negara anggotanya. Berikut ini manfaat MEA bagi Indonesia:
Kemiskinan
Turun dari 45 persen pada 1990 menjadi 15,6 persen pada 2010.
Kelas Menengah
Naik dari 15 persen (1990) menjadi 37 persen (2010).
Investasi
-Tumbuh dari US$ 98 miliar (2010) menjadi US$ 110 miliar (2012).
-Khusus Indonesia, investasi tumbuh dari US$ 13,8 miliar (2010) menjadi US$ 19,9 miliar (2012).
Produk Domestik Bruto
-PDB 2011 berkembang 5,7 persen dengan nilai US$ 2,31 triliun.
-PDB per kapita berkembang dari US$ 965 (1998) menjadi US$ 3.601 (2011).
Perdagangan
-Perdagangan barang 2012 mencapai US$ 2,48 triliun.
-Khusus Indonesia, perdagangan di kawasan ASEAN sebesar US$ 381,7 miliar (2012).
Jadi, siapkah anda menghadapi
persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi ketatnya
persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia
Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari
tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Terdapat empat hal yang akan menjadi
fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk
Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan
sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan
pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal
dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari
satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai
kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu
kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection,
Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce.
Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat
perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen;
mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi
yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation,
dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan
sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan
memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan
dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap
informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal
peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan
secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan dengan membangun sebuah
sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain
itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada
jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada
negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya
terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga
memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Berdasarkan ASEAN Economic
Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan
antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan
meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA dapat mengembangkan
konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok
perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan
importir non-ASEAN.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan
menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung
berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada
peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi
lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas
komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet,
produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition
risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam
jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing
dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia
sendiri.
Pada sisi investasi, kondisi ini
dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment
(FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan
teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human
capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu,
kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia
masih memiliki tingkat regulasi yang kurang mengikat sehingga dapat menimbulkan
tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam
oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki
jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak
tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat
merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di
Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan
sumber daya alam yang terkandung.
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat
kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja karena dapat banyak
tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang beraneka
ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari
pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan
tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk
mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini
dapat memunculkan risiko ketenagakarejaan bagi Indonesia. Dilihat dari
sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga
kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi
industri yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat
keempat di ASEAN (Republika Online, 2013).
Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia
memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala ekonomi dalam negeri
sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia masih memiliki
banyak tantangan dan risiko-risiko yang akan muncul bila MEA telah
diimplementasikan. Oleh karena itu, para risk professional diharapkan
dapat lebih peka terhadap fluktuasi yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi
risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, kolaborasi yang apik antara
otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan, infrastrukur baik secara
fisik dan sosial(hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya
peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di
Indonesia. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri di
tahun 2015 mendatang.
Persaingan di bursa tenaga kerja
akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean pada akhir 2015
mendatang. Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang
berkecimpung pada sektor keahlian khusus.
Berikut lima hal yang perlu Anda
ketahui dan antisipasi dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara yang dikenal
dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
1.
Apa itu Masyarakat Ekonomi Asean?
Lebih dari satu dekade lalu, para
pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara
pada akhir 2015 mendatang.
Ini dilakukan agar daya saing Asean
meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing.
Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Pembentukan pasar tunggal yang
diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan
satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di
seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
2.
Bagaimana itu mempengaruhi Anda?
Berbagai profesi seperti tenaga
medis boleh diisi oleh tenaga kerja asing pada 2015 mendatang.
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya
membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja
profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya
penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja
asing.
"Pembatasan, terutama dalam
sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan," katanya.
"Sehingga pada intinya, MEA
akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan
serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya."
3.
Apakah tenaga kerja Indonesia bisa
bersaing dengan negara Asia Tenggara lain?
Sejumlah pimpinan asosiasi profesi
mengaku cukup optimistis bahwa tenaga kerja ahli di Indonesia cukup mampu
bersaing.
Ketua Persatuan Advokat Indonesia,
Otto Hasibuan, misalnya mengatakan bahwa tren penggunaan pengacara asing di
Indonesia malah semakin menurun.
Oke jabatan dibuka, sektor diperluas, tetapi syarat
diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas tidak asal bebas.Dita Indah Sari
"Pengacara-pengacara kita,
apalagi yang muda-muda, sudah cukup unggul. Selama ini kendala kita kan cuma
bahasa. Tetapi sekarang banyak anggota-anggota kita yang sekolah di luar
negeri," katanya.
Di sektor akuntansi, Ketua Institut
Akuntan Publik Indonesia, Tarko Sunaryo, mengakui ada kekhawatiran karena
banyak pekerja muda yang belum menyadari adanya kompetisi yang semakin ketat.
"Selain kemampuan Bahasa
Inggris yang kurang, kesiapan mereka juga sangat tergantung pada mental. Banyak
yang belum siap kalau mereka bersaing dengan akuntan luar negeri."
4.
Bagaimana Indonesia mengantisipasi
arus tenaga kerja asing?
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dita Indah Sari, menyatakan tidak ingin "kecolongan"
dan mengaku telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas tenaga
kerja.
"Oke jabatan dibuka, sektor
diperluas, tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas tidak
asal bebas," katanya.
"Kita tidak mau tenaga kerja
lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu, tetapi karena ada tenaga kerja
asing jadi tergeser.
Sejumlah syarat yang ditentukan
antara lain kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi
terkait di dalam negeri.
Permintaan tenaga kerja jelang MEA
akan semakin tinggi, kata ILO.
5.
Apa keuntungan MEA bagi
negara-negara Asia Tenggara?
Riset terbaru dari Organisasi
Perburuhan Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan pasar tenaga kerja mendatangkan
manfaat yang besar.
Selain dapat menciptakan jutaan
lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta
orang yang hidup di Asia Tenggara.
Pada 2015 mendatang, ILO merinci
bahwa permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta.
Sementara permintaan akan tenaga
kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sementara tenaga kerja level
rendah meningkat 24% atau 12 juta. Namun laporan ini memprediksi bahwa banyak
perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil atau bahkan salah
penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi.
PENUTUP
Kesimpulan
Didalam era globalisasi ini , Indonesia akan memasuki sebuah periode yang disebut
Bonus Demografi Bonus Demografi adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk
usia produktif (15-64tahun) di suatu wilayah lebih besar dari jumlah penduduk tidak
produktif (kurang dari 14 tahun dan diatas 65 tahun). Artinya bahwa proporsi penduduk yang
produktif (yang bekerja/angkatan kerja) lebih besar dari yang
tidak produktif (tidak bekerja), sehingga tingkat kebergantungan
penduduk tidak produktif kepada penduduk yang produktif menjadi kecil. Dalam
kata lain, Bonus Demografi dapat diartikan sebagai terjadinya ledakan penduduk usia kerja dalam struktur umur masyarakat di suatu
wilayah.
Kerja Sama Ekonomi Internasional Mempunyai Cakupan Yang Lebih Luas Daripada
Perdagangan Internasional. Dengan Demikian Kerja Sama Ekonomi Internasional
Adalah Hubungan Antara Suatu Negara Dengan Negara Lainnya Dalam Bidang Ekonomi
Melalui Kesepakatan – Kesepakatan Tertentu, Dengan Memegang Prinsip Keadilan
Dan Saling Menguntungkan.
Dalam Era Globalisasi Saat Ini juga , Pelaksanaan Pembangunan Di Indonesia Dan Negara – Negara Lain Berkaitan
Erat Dengan Komitmen – Komitmen Global Dalam Bidang Ekonomi, Perdagangan,
Transaksi Keuangan, Dan Lain – Lain. Indonesia Adalah Anggota PBB Dan Berbagai
Lembaga Lain Di Bawahnya, Serta Di Gerakan Non – Blok.
ASEAN Free Trade Area
(AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif
(bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN,
melalui skema CEPT-AFTA. Sebagai contoh dari keanggotaan AFTA adalah sebagai
berikut, Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual radio ke
Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual kulit ke
Vietnam.Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan mengkonsumsi lebih
banyak dibandingyang dapat diproduksinya sendiri. Namun dalam konsep perdagang
tersebut tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non-tarif
bagi negara – negaraASEAN melalui skema CEPT-AFTA. Common Effective
Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif dan
penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara
ASEAN. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya operasional mampu
ditekan sehingga akan menguntungkan.
ACFTA
adalah suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan
Cina. ACFTA membawa dampak terhadap industri-industri domestik dalam negeri hal
ini membawa pengaruh terhadap stabilitas Indonesia. ini dilihat dari dua sektor
industri yaitu industri tekstil dan alas kaki. Impor Indonesia dari China untuk
barang-barang tekstil dan alas kaki mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, penyebabnya adalah harga yang murah dan lebih beragam. Hal ini
mengakibatkan pasar domestik dikuasai oleh barang-barang China sehingga barang
buatan dalam negeri tidak mampu bersaing.
MEA
merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan
Asia Tenggara.Kedatangan
MEA ke Indonesia serta Asia Tenggara Ini
dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India
untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus
perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional,
seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA :