TUGAS SOFTSKILL
PEREKONOMIAN INDONESIA (4 SOAL)
PEREKONOMIAN INDONESIA (4 SOAL)
DISUSUN OLEH :
ANIS PRATIWI DININGRUM (21214281)
1EB34
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014/2015
1.PELAKU EKONOMI DI INDONESIA
Pelaku kegiatan ekonomi di
Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 sektor usaha formal yaitu BUMN, BUMS dan
Koperasi.
1) BUMN ( Badan Usaha Milik Negara)
BUMN adalah badan usaha yang
didirikan dan dimiliki pemerintah.
Tujuan kegiatan BUMN:
a. Untuk menambah
keuangan kas negara
b. Membuka lapangan
kerja
c. Melayani dan
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Alasan pemerintah mendirikan BUMN
adalah:
a. Untuk memenuhi
kebutuhan nasional yang tidak dilakukan oleh swasta.
b. Untuk
mengendalikan bidang-bidang usaha strategis dan menguasai hajat hidup orang
banyak.
Peranan BUMN dalam perekonomian
nasional adalah :
a. Mencegah agar
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak tidak dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu.
b. Memberikan
pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
c. Membuka lapangan
kerja.
d. Melakukankegiatan
produksi dan distribusi yang menguasai hidup hajat hidup orang banyak.
e. Sebagai sumber pendapatan
negara.
Kebaikan BUMN :
a. Modal dari
pemerintah
b. Mengutamakan
pelayanan umum
c. Memiliki kekuatan
hukum yang kuat
d. Organisasi disusun
secara mantap
Kelemahan BUMN:
a. Pengambilan
keputusan lamban karena panjangnya birokrasi.
b. BUMN banyak merugi
c. Organisasinya
sangat kaku.
2). BUMS ( Badan Usaha Milik Swasta )
BUMS adalah badan usaha yang
didirikan dan dimiliki swasta secara individu atau kelompok.
Tujuan kegiatan BUMS:
a. Mengembangkan dan
memperluas usaha usaha
b. Membuka lapangan
kerja
c. Memperoleh
laba-laba sebesar-besarnya.
Peranan BUMS dalam perekonomian
nasional adalah:
Sebagai mitra pemerintah dalam
kegiatan perekonomian.
Membantu pemerintah dalam
pengelolaan kegiatan ekonomi yang tidak ditangani pemerintah.
Meningkatkan penerimaan dan
devisa negara
4. Menciptakan lapangan kerja.
Kebaikan BUMS adalah :
a. Meningkatkan
pendapatan negara
b. Meningkatkan
ekspor import
c. Memperluas
lapangan kerja
Kelemahan BUMS adalah :
a. Menimbulkan persaingan
pasar tidak sehat (monopoli)
b. Penyalahgunaan
potensi sumber daya (eksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya)
c. Berkurangnya
devisa karena keringanan bea masuk.
d. Berkurangnya
pendapatan negara karena keringanan pajak.
3).
Koperasi
Pengertian koperasi
Menurut UU No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum berdasar atas asas kekeluargaan.
Prinsip-prinsip koperasi:
1. Keanggotaan bersifat sukarela
dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara
demokratis
3. Pembagian SHU secara adil dan
sebanding dengan besarnya jasa
4. Pemberian balas jasa terbatas
terhadap modal
5. Kemandirian
Landasan koperasi:
1. Landasan idiil adalah
Pancasila
2. Landasan struktural adalah UUD
1945
3. Landasan operasional adalah UU
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan AD/ART koperasi
4. Asas koperasi adalah
kekeluargaan
5. Modal koperasi berasal
dari modal sendiri (simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan , hibah) dan
modal pinjaman (dari bank, dari koperasi lain atau sumber pinjaman lain).
6. Alat kelengkapan koperasi
adalah rapat anggota, pengurus koperasi dan pengawas koperasi.
Tujuan koperasi:
Memajukan kesejahteraan anggota
pada khususnya
Mensejahterakan dan mencapai
kemakmuran masyarakat pada umumnya
Ikut membangun tatanan
perekonomian nasional
Manfaat koperasi:
Memberikan kemudahan dan
pelayanan yang baik kepada anggota
Sarana pengembangan potensi dan
kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
Meningkatkan kualitas kehidupan
anggota
Memperkokoh perekonomian rakyat
Jenis-jenis koperasi:
a. Menurut sifat usahanya:
1. Koperasi Konsumsi, yaitu
koperasi yang usahanya menyediakan barang-barang konsumsi.
2. Koperasi Produksi, yaitu
koperasi yang usahanya menghasilkan daya guna barang atau jasa.
3. Koperasi Simpan Pinjam, yaitu
koperasi yang usahanya menerima tabungan dan memberikan pinjaman kepada
anggotanya.
4. Koperasi Jasa, yaitu
koperasi yang usahanya memberikan pelayanan jasa.
5. Koperasi Serba Usaha, yaitu
koperasi yang usahanya meliputi berbagai macam bidang.
b. Menurut tingkatannya:
1. Koperasi Primer, yaitu
koperasi yang wilayahnya meliputi satu desa, kelurahan atau kecamatan.
2. Koperasi Pusat, yaitu koperasi
yang wilayahnya meliputi kabupaten atau kota.
3. Koperasi Gabungan, yaitu
koperasi yang wilayahnya meliputi satu propinsi.
4. Koperasi Induk, yaitu koperasi
yang berada di tingkat nasional.
c. Menurut golongan anggotanya:
1. Koperasi Pemuda
2. Koperasi Pegawai Negeri Sipil
3. Koperasi Sekolah
4. Koperasi TNI dan Polri
5. Kedudukan koperasi dalam
perekonomian Indonesia
Kedudukan koperasi:
Soko guru perekonomian nasional
Bagian integral tata perekonomian
nasional
Berperan serta dalam kehidupan
ekonomi bangsa
Fungsi dan peran koperasi
Menurut UU No 25 Tahun 1992,
fungsi dan peran koperasi adalah:
Membangun dan mengembangkan
potensi dan kemampuan ekonomi anggota
Berperan aktif dalam upaya
mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat
Memperkokoh perekonomian rakyat
Berusaha mewujudkan dan mengembangkan
perekonomian nasional
Peranan koperasi dalam
perekonomian Indonesia:
a. Mengembangkan
potensi kemakmuran anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Berperan aktif
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
c. Memperkokoh
perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
d. Mengembangkan
perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan.
2.FAKTOR-FAKTOR
PRNYEBAB KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH/WILAYAH DI INDONESIA
Sudah cukup banyak studi yang
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar
provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono
dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989), Sondakh (1994), dan
Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi tersebut adalah bahwa f
aktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di
Indonesia adalah sebagaiberikut.
1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendahakan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan OrdeBaru membuat secara langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luarJawa, khususnya di IKT.Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis. Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena L dan K yang ada, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi L, baik dari kategori L berpendidikan rendah maupunberpendidikantinggiterusmengalirkeJawa, sehinggamerugikandaerah-daerah lain: salahsatufaktorproduksipentinghilang di daerah-daerah.
Kerugian yang dialami banyak daerah di luar Jawa, khususnya IKT, karena terpusatnya kegiatan ekonomi nasional di Jawa adalah salah satu contoh konkret dari apa yang dimaksud dengan efek “penyurutan” dari kegiatan ekonomi yang terpusatkan di suatu daerah. Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya yang dekat dengan Jawa; atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi. Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini bisa juga member banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luarnegeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakana bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakan per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidakada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.
3. Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar
Daerah
Kehadiran
buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini
berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin
sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi
(teori Marxist: naik kelas). Fenomena “move up the ladder” ini dengan
sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini
sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada
di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah. Salah satu
pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk
faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi
penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau
dan dikontrol agar tetap teratur.
4. Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar
pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA
akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang
miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat tertentu pendapat ini masih dapat
dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi
yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan mengganggu
pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi
daerah sendiri. Oleh karena itu, proses desentralisasi tidak perlu
diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan
kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah,
khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja nasional yang harus
mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti
dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi
daerah yang kompetitif dan efisien. Pembangunan ekonomi yang efisien
membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan
sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi,
pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses
perencanaan.
5.
Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi
demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh
sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain
sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan
ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
6. Kurang
Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang
lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi
regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan karena
keterbatasan transportasi dan komunikasi.
3.LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH DI
INDONESIA
Otonomi
daerah di Indonesia lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada
tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda
Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia
di sekitar tahun 1997 kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya
ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama
kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan
orde baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem
ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan
kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomi
daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab
permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan
perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah
di Indonesia.
Di balik itu semua ternyata ada
banyak faktor yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Latar
belakang otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara internal dan eksternal.
· Latar Belakang Otonomi Daerah secara Internal dan Eksternal
Latar
belakang otonomi daerah di Indonesia berdasarkan beberapa referensi
dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek internal yakni kondisi yang terdapat
dalam negara Indonesia yang mendorong penerapan otonomi daerah di Indonesia dan
aspek eksternal yakni faktor dari luar negara Indonesia yang mendorong dan
mempercepat implementasi otonomi daerah di Indonesia.
Latar
belakang otonomi daerah secara
internal, timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan mesin pemerintahan
yang dilaksanakan secara sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan
yang cukup besar antara pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan
yang dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta. Kesenjangan
ini pada gilirannya meningkatkan arus urbanisasi yang di kemudian hari justru
telah melahirkan sejumlah masalah termasuk tingginya angka kriminalitas dan
sulitnya penataan kota di daerah Ibukota.
Ketidakpuasan
daerah terhadap pemerintahan yang sentralistik juga didorong oleh massifnya
eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam. Eksploitasi kekayaan alam di daerah kemudian tidak berbanding
lurus dengan optimalisasi pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut.
Bahkan pernah mencuat adanya dampak negatif dari proses eksploitasi sumber daya
alam terhadap masyarakat lokal. Hal inilah yang mendorong lahirnya tuntutan
masyarakat yang mengingingkan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerah
sendiri dan menjadi salah satu latar belakang otonomi daerah di Indonesia.
Selain latar
belakang otonomi daerah secara internal sebagaimana dimaksud diatas,
ternyata juga terdapat faktor eksternal yang menjadi latar belakang otonomi
daerah di Indonesia. Faktor eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya
otonomi daerah di Indonesia adalah adanya keinginan modal asing untuk
memassifkan investasinya di Indonesia. Dorongan internasional mungkin tidak
langsung mengarah kepada dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, tetapi
modal internasional sangat berkepentingan untuk melakukan efisiensi dan biaya
investasi yang tinggi sebagai akibat dari korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Agenda
reformasi jelas menjanjikan hal itu, yakni terjadinya perubahan dalam sistem
pemerintahan yang sarat dengan KKN menjadi pemerintahan yang bersih dan pada
gilirannya akan lebih terbuka terhadap investasi asing.
3.PELUANG BISNIS EKONOMI
DAN TANTANGAN BISNIS EKONOMI DI INDONESIA
Pembangunan ekonomi saat
ini di Indonesia selama pemerintahan orde baru lebih terfokus pada pertumbuhan
ekonomi ternyata tidak membuat daerah di tanah air berkembang dengan baik.
Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil pembangunan selama
ini lebih terkonsentrasi di Pusat (Jawa) atau di Ibukota . Pada tingkat
nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan
tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun (hingga krisis terjadi).
Namun,dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi
antar propinsi makin membesar.
Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Berangkat dari pemahaman demikian, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.
Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah. Proses lebih lanjut dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses pemerintahan di daerah.
Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan “cultural shock”, dan belum menemukan bentuk /format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.
Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Berangkat dari pemahaman demikian, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.
Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah. Proses lebih lanjut dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses pemerintahan di daerah.
Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan “cultural shock”, dan belum menemukan bentuk /format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.
Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
4. LIMA KENDALA/ MASALAH
PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA
Upaya mewujudkan
pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang
dihadapi, masalah Pertama yaitu penurunan kualitas dan
kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan
pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi
kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog
BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi
mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai
65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung
sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010,
dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah
dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring
pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil riset
mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di Indonesia,
terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi
lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil
dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan
kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah
> 4,3 persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut
menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi
tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang
ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai
daerah. Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa
memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya
turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang
beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
Masalah kedua yang
dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang
pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan
waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha,
sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen
(6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk
sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi
kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi
waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah
kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya
kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan
lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian
menjadi buruk.
Selanjutnya, masalah
ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama
pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan
yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk
pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan
dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas
tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi
tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi
standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di
dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat
diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan
pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus
dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke
dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting,
baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani
maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk
menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan
melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Hal lainnya
sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan
usaha terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya
sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah
produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan
tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka
dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi
biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani.
Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan
langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas.
Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa
diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang
Pangan dan Energi.
Yang terakhir
menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai
tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga
yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari
hasil penjualan.
Pada dasarnya
komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil
pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari
kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani
diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan
memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan,
penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu
saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam
upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan
kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.
SUMBER :